Ada sekian banyak pemimpin pintar dan karismatik di dunia kala itu, namun tak serta merta mendapatkan penerimaan yang istimewa seperti Soekarno.
Salah satu faktor utama mengapa ia sangat disegani adalah karena ia dengan sekuat upaya memproteksi Indonesia dari intervensi pengelolaan pihak asing terhadap kekayaan bumi Indonesia.
Para pihak asing yang ingin "meminang" ibu pertiwi yang kala itu "masih perawan", menghadapi Soekarno bagaikan menghadapi calon mertua yang tegas dan sulit kompromi.
Mereka memasang muka seramah mungkin dan bersikap sehormat mungkin dalam rangka mencari simpati Soekarno; segala hal ditawarkan, dari mulai bingkisan, oleh-oleh, bahkan mungkin cheque, deposito dan lifetime saving -semuanya adalah untuk mencari simpatik agar Soekarno mengijinkan mereka mengawini ibu pertiwi dan menggagahi keperawanannya bahkan kehormatannya. (Terutama) Negara-negara kapitalis tahu betul, seperti juga Soekarno yang sangat tahu, TST lah pokoknya; Indonesia memiliki kekayaan yang luarbiasa, yang jauh daripada yang umum ketahui dan bayangkan.
Bahkan jauh lebih kaya daripada yang pernah dibayangkan manusia. Beberapa orang mencemooh pembangunan Stadion dan Monas (emas) saat itu sebagai pemborosan biaya Negara; Soekarno tahu, Indonesia, jika dikelola dengan benar, bisa membuat ratusan Monas dan puluhan stadion lainnya tanpa harus khawatir membuat pengurangan yang berarti terhadap kekayaan Negara.
Dengan segala cara, akhirnya mereka menemukan jalan: menggunakan kekuatan dalam untuk menghancurkan posisi Soekarno. Singkat kata, mereka berhasil menggunakan Soeharto untuk mendongkel Soekarno dari tongkat kekuasaan.
Cara ini membuka jalan yang lebar bagi mereka untuk mulai menggagahi ibu pertiwi sedikit demi sedikit namun sangat sistematis. Ibu pertiwi tidak lagi berada pada tangan perwalian yang ekstra protektif seperti Soekarno.
Wali pertiwi setelah Soekarno, beserta para kroni-kroninya sungguh tergila-gila akan berbagai macam insentif yang diberikan pihak asing untuk dapat mengawini ibu pertiwi dan mengekspoitirnya. Mulai sejak saat itu, tak ada lagi respek dan segan yang dulu kita dapatkan.
Tak ada urgensinya mereka bersikap sopan dan ramah lagi terhadap “mertua yang anaknya sudah mereka eksploitasi kecantikan dan keperawanannya”. Bahkan mertuanya pun makin lama juga makin tak berdaya. Saat ini kita memang memiliki tanah, namun bukan kandungan kekayaannya. Memiliki air, namun bukan profitnya (ingat Danone –Aqua, dan Thames –PAM; juga pencurian ikan dll. di lautan), serta dan hutan. Bahkan angkasapun sepertinya kita sudah tak memiliki otoritas terhadapnya.
Rakyat jelata sekarang sudah dipilah oleh bilah etalase terhadap kekayaan negaranya sendiri. Jika Negara ini adalah sapi yang sehat dan gemuk, rakyat hanyalah kutu kecil di kulit badannya. Sebagian banyak dari kita hanyalah mengontrak di rumah orang tua sendiri. Presiden-presiden selanjutnya sudah tidak bisa berbuat banyak.
Kekuatan asing di Negara kita, secara politik-ekonomis, sudah terlalu mengakar kuat. Kita hanya memiliki body-nya, mesin dan sistemnya sudah terkendalikan secara remote dari luar. Kita hanya ribet berkutat pada persoalan-persoalan superficial dan non-esensial.
Patung bekasi, lah, haram rebonding lah, Ariel-Luna, lah, dll. Kita sudah lama mengalami pengebirian otak dan hati. Kita sudah nyaris lupa jati diri dan esensi berbangsa dan bernegara. Kita sudah menjadi spesies manusia baru; DNA yang mengandung unsur “eling”-nya sudah dimodifikasi oleh berbagai faktor eksternal yang berkepentingan.
Soekarno “sakti” karena paling tidak satu hal: Ia memegang amanat leluhur Nusantara dengan segala daya dan upaya untuk menjaga, melindungi dan memajukan bangsa dan negaranya.
[ sumber ]
{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }
Posting Komentar